Jakarta, 3 Juli 2018
Kalau bayi lahir pendek, maka ia berpeluang tubuhnya pendek. Maka, anak itu butuh intervensi segera untuk mencegah agar tidak stunting, seawal mungkin, sedini mungkin.
Demikian pernyataan Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, saat memberikan materi bertajuk ”Mewujudkan Indonesia Sehat Melalui Percepatan Penurunan Stunting” dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2018 yang digelar di salah satu hotel di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa siang (3/7).
”Semakin dini kita mencegahnya, sejak remaja perempuan, maka akan semakin baik hasilnya. Perlu perubahan perilaku, karena cegah stunting itu penting”, ujar Menkes.
Dijelaskan oleh Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, dr. Kirana Pritasari, MQIH bahwa langkah utama perubahan perilaku adalah mengedukasi perbaikan pola pemberian makan. Dimulai dari sebelum menjadi ibu (remaja), kemudian saat hamil, memberikan ASI Eksklusif selama enam bulan, dan pemberian makanan bergizi seimbang, terutama bagi anak usia dua tahun.
Perlu kita resapi bersama, bahwa bayi dilahirkan agar tercukupi kebutuhan gizinya ditentukan sejak mendapatkan asupan makanan dari ibunya selama dalam kandungan.
”Itu kuncinya, agar saat anak lahir beratnya tidak kurang dari 2500 gram dengan panjang badan tidak kurang dari 48 cm”, terang dr. Kirana.
Tantangan selanjutnya sesaat setelah bayi dilahirkan, ia perlu mendapatkan colostrum dari air susu ibu (ASI). Bayi hanya membutuhkan air susu ibunya (ASI Eksklusif) selama enam bulan pertama kehidupannya. Setelah itu, saat bayi berusia 6 bulan, jangan sampai terlambat karena bayi perlu diberi makanan pendamping ASI yang bergizi seimbang.
”Ini menjadi penting, karena apabila diberikan makanan padat namun tidak lengkap kandungan gizinya, maka meski berat dan panjang badan saat lahir optimal (modalitas baik) namun tumbuh kembangnya menjadi tidak optimal”, jelas dr. Kirana.
Berbicara tumbuh kembang anak, bukan hanya berbicara menambah berat dan tinggi badan anak saja. Faktor pola pengasuhan, lingkungan dan stimulasi juga mempengaruhi pencapaiannya.
Menanggapi pertanyaan media mengenai peluang seorang anak yang mengalami stunting untuk dapat mengejar ketertinggalan perkembangannya, dr. Kirana menegaskan bahwa kita harus fokus pada remaja, calon ibu, ibu hamil dan anak hingga ia berusia dua tahun, karena fase tersebut merupakan masa emas perkembangan otak anak.
”Tinggi badan itu hanya salah satu. Yang lebih utama adalah kognitif, hal ini menjadi risiko yang paling berat untuk stunting, kalau terlambat, itu yang berbahaya. Kalau tinggi badan, itu hanya performance (penampilan). Sementara kalau kognitif, ini menyangkut daya saing dengan global, ini yang dikaitkan dengan produktifitas, pembangunan dan ekonomi negara,” tandasnya.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id. (myg)